
Pernah upload gambar buatan AI di Facebook terus malah dikomentarin, “Ih, ini mah AI, bukan karya asli manusia!”? Atau lihat ada yang posting tulisan bagus, tapi langsung dibalas, “Pasti pake ChatGPT, males baca ah.”?
Kalau iya, kamu nggak sendirian. Belakangan ini, tren kebencian terhadap konten buatan AI makin terasa di berbagai platform, terutama Facebook, Reddit, Twitter (alias X), bahkan Instagram. Tapi kenapa ya, produk AI yang seharusnya jadi alat bantu kreatif, malah jadi sasaran kemarahan warga internet?
Yuk, kita kupas tuntas.
1. Ketakutan: "AI Mengancam Profesi Kreatif"
Ini salah satu alasan terbesar. Banyak orang merasa pekerjaan mereka — entah itu desainer, penulis, musisi, ilustrator, voice actor — sedang dilibas teknologi. Bayangkan kamu belajar bertahun-tahun, ngerjain proyek puluhan jam, lalu ada orang yang generate gambar dalam 10 detik dan bilang, "Nih, lebih bagus dari buatan kamu."
Wajar dong kalau banyak yang merasa marah, cemas, bahkan takut eksistensinya digeser mesin?
Bukan benci AI-nya, tapi benci bagaimana AI digunakan untuk menggantikan manusia.
2. Asumsi: “Pakai AI = Males Usaha”
Ada anggapan bahwa konten AI itu “instan”, dibuat tanpa proses, tanpa rasa, tanpa perjuangan. Jadi ketika seseorang mem-posting puisi dari AI atau gambar dari AI art generator, banyak yang langsung menganggap si pembuat “males mikir” atau “cuma numpang ngepost”.
Padahal realitanya nggak selalu sesimpel itu. Prompting yang bagus, komposisi yang pas, hingga revisi berulang juga butuh waktu dan keterampilan.
Tapi ya... di internet, persepsi lebih cepat menyebar daripada penjelasan.
3. Kecewa: “AI = Terlalu Sempurna, Tapi Hambar”
Sebuah ironi: gambar AI bisa sangat detail, bersih, estetik, tapi justru karena terlalu “sempurna”, ia terasa hampa. Kayak liat manusia tanpa jiwa.
Banyak netizen yang bilang, “Gambarnya keren sih, tapi nggak ada nyawanya.” atau “Bikinan robot, bukan karya.”
Ini bukan hal baru. Kita sebagai manusia memang lebih mudah tersentuh oleh ketidaksempurnaan yang otentik — goresan tangan, typo yang jujur, emosi yang nggak terstruktur rapi. Hal-hal itu sulit (belum bisa?) ditiru oleh AI.
4. Noise: “Terlalu Banyak Sampah AI”
Karena aksesnya mudah, semua orang bisa bikin konten AI — hasilnya? Banjir gambar, tulisan, video, dan musik yang semuanya buatan mesin. Masalahnya, nggak semuanya berkualitas. Bahkan ada yang cuma spam promosi, clickbait, atau nyampah di grup dengan caption “Nih, cakep kan? Ai doang nih!”
Wajar kalau warga sosmed jadi jenuh dan malah bereaksi defensif. Bukan karena AI-nya jelek, tapi karena terlalu banyak, terlalu cepat, terlalu asal.
5. Identitas: “Karya = Cerminan Diri”
Di dunia digital, karya = identitas. Ketika seseorang menyukai gambar fanart, mereka merasa terhubung dengan si pembuatnya. Tapi kalau tahu itu buatan AI, koneksi emosional itu terputus.
Soalnya, siapa yang bisa kamu kagumi kalau pembuatnya bukan manusia?
Jadi, Haruskah Kita Berhenti Pakai AI?
Nggak juga.
AI itu alat, bukan musuh. Yang harus kita kritisi adalah cara penggunaannya. Apakah AI dipakai buat menggantikan manusia, atau untuk memperkaya karya manusia?
Mungkin yang perlu kita dorong bukan penghapusan AI, tapi etika penggunaan AI. Misalnya:
- Jujur soal proses (kasih label: AI-assisted, AI-generated, atau hybrid)
- Tetap memberi kredit pada seniman atau penulis inspirasi
- Pakai AI untuk membantu, bukan meniru mentah-mentah
- Pilah mana konten yang layak diunggah, mana yang masih mentah
Kesimpulan
Kebencian terhadap AI di sosmed bukan murni soal teknologinya, tapi soal rasa takut, kecewa, kehilangan makna, dan kejenuhan kolektif. Wajar sih, kita semua sedang beradaptasi.
Tapi daripada saling serang antara “manusia vs AI”, kenapa nggak kolaborasi?
Mungkin masa depan bukan soal “AI menggantikan manusia”, tapi “AI yang diajarin manusia untuk bikin hal yang lebih manusiawi”.
Bagaimana menurutmu? Pernah mengalami diskriminasi karena pakai AI? Atau kamu justru yang kecewa karena konten AI terlalu mendominasi? Tulis pendapatmu di kolom komentar!
menu lainnya ...
Komentar
Posting Komentar